Minggu, 04 Desember 2016

NATAL “YANG TERLUPAKAN”?



NATAL “YANG TERLUPAKAN”

(Dikutip dari catatan: Pdt. Bonar Lumbantobing)




I. Tanda-tanda “kelupaan”

Berikut ini akan disampaikan beberapa hasil pengamatan yang panjang, yang sebenarnya masih membutuhkan dukungan data yang lebih lengkap. Namun karena dalam buku ini hanya gejalanya yang akan ditunjukkan, maka data lengkap diharapkan akan muncul melalui penelitian-penelitian yang mungkin boleh diinspirasikan oleh tulisan ini. Adapun pengamatan yang dimaksud di sini, akan dibatasi pada adanya tiga perkembangan dalam perayaan Natal, yaitu perkembangan yang berkaitan dengan pelaksana perayaan, berkaitan dengan tanggal perayaan Natal dan berkaitan dengan cara perayaan Natal, sebagai berikut:

Berkembangnya “pelaksana” perayaan Natal

Pada awalnya perkembangan baru bersifat positip: Sampai tahun 1950-an, pada umumnya perayaan Natal berlangsung di gedung-gedung gereja dan merupakan perayaan yang dilaksanakan oleh jemaat setempat. Di beberapa tempat muncullah perayaan-perayaan Natal yang diadakan oleh Sekolah-sekolah Dasar dan berbagai Sekolah Menengah yang dilaksanakan di gedung-gedung Gereja. Hal ini sudah mulai terlihat pada awal tahun 1950-an di daerah Sumatera Utara dimulai di daerah Tapanuli.

Perkembangan selanjutnya terlihat melalui gerakan yang positip juga, yaitu munculnya perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara ekumenis. Gereja-gereja yang berbeda-beda keluar dari jemaat masing-masing dan berkumpul untuk mengadakan perayaan bersama. Di beberapa tempat, kebaktian seperti ini dimotivasi oleh Angkatan Bersenjata, yang karena tugasnya tidak selalu terikat pada satu jemaat saja, sehingga jemaat-jemaat lokal dengan senang hati turut bergabung menyertai angkatan Bersenjata untuk merayakan Natal. Ini jadinya merupakan kesempatan bagi jemaat-jemaat untuk beribadah bersama dengan jemaat-jemaat yang selama ini berkumpul sendiri-sendiri. Di daerah Medan misalnya terdapat perkembangan lain, yaitu tersedianya fasilitas umum dengan dibangunnya Stadion Teladan, mempengaruhi intensitas perayaan Natal secara ekumenis.

Dengan pecahnya gerakan yang kemudian disebut sebagai G30S/PKI, maka kehidupan beragama lebih digiatkan, bahkan melampaui batas-batas pelaksanaan kegiatan agama yang selama ini terbatas untuk kalangan lokal. Hal ini sejajar dengan perhatian Orde Baru terhadap bidang keagamaan tidak hanya dalam organisasi keagamaan, tetapi juga hidup keagamaan dari para pegawai pemerintahan. Perhatian ini didukung oleh fasilitas yang disediakan bagi kantor-kantor dan instansi pemerintahan misalnya, bahkan hingga dukungan dana. Beberapa kegiatan keagamaan bahkan ditangani dan difasilitasi secara langsung oleh pemerintah. Para pegawai yang beragama Kristen jadinya turut juga menikmati kesempatan ini.

Perayaan Natal pun dipengaruhi olehnya: Kantor-kantor dan instansi pemerintahan mengadakan perayaan Natal di lingkungan kantor mereka masing-masing. Bila keadaan mendukung, perayaan itu dilaksanakan di gedung sendiri, kalau tidak, dilaksanakan di gedung-gedung umum yang lebih luas, tetapi jarang diadakan di gedung gereja. Perayaan ini pun menunjukkan sifat ekumenisnya, terlihat dari pengkhotbah yang diundang, atau pemimpin doa syafaat mau pun pemberi renungan Natal, yang biasanya adalah pelayan-pelayan penuh waktu dari Gereja-gereja yang anggotanya ada di kantor tersebut.

Khusus di Sumatera Utara dan juga jemaat di pulau-pulau lain yang berasal dari Gereja-gereja bekas asuhan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) – yaitu sebuah lembaga Pekabaran Injil dari Jerman-, terdapat suatu tradisi perayaan Natal: pada tanggal 25 dan 26 Desember anak-anak akan bertugas dalam kebaktian untuk mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah dihafal luar kepala. Sebanyak delapan hingga sepuluh anak-anak akan bergiliran maju ke depan untuk mengucapkan ayat itu. Ayat-ayat tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu:

1.       Berita Penciptaan,
2.       Kejatuhan Manusia ke dalam dosa,
3.       Janji kedatangan Messias,
4.       Kelahiran Juruslamat dan
5.       Ucapan Syukur atas keselamatan.

Kesempatan ini merupakan suasana gembira, di mana anak-anak akan mengenakan baju baru, dan seluruh keluarga akan menantikan giliran anaknya memberitakan ayat itu di depan. Setelah perayaan Natal diadakan di sekolah-sekolah Sumatera Utara, maka kebiasaan mengucapkan ayat hafalan ini diambil alih oleh Sekolah-sekolah tersebut dalam perayaan mereka di luar lingkungan jemaat.

Pada kurun waktu 1970-an di Sumatera Utara,  sejajar dengan perkembangan perayaan Natal oleh instansi pemerintahan, muncullah perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh kelompok-kelompok marga, kumpulan sosial di tingkat RT/RW atau Lorong-lorong dan Wijk. Di tingkat jemaat lokal pun berkembang juga perayaan Natal: kelompok kaum Ibu, kaum Bapak, Muda/i  bahkan Majelis Jemaat dengan keluarganya, juga akan mengadakan perayaan sendiri-sendiri yang dilangsungkan di gedung gereja. Selain itu, lingkungan atau rayon yang dilayani oleh para Penatua, kemudian mengadakan perayaan, terkadang dilaksanakan di lingkungan sendiri atau di gedung gereja. Kebiasaan untuk mengucapkan ayat hafalan dari Alkitab, yang tadinya adalah acara untuk anak-anak, jadinya dilakukan oleh orang dewasa, baik kaum bapak, Ibu mau pun muda/i.

Dengan demikian ada kemungkinan bahwa dalam masa Natal itu seseorang termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan Natal; atau, mungkin saja satu orang atau satu keluarga, selain termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan, juga menjadi undangan pada berbagai perayaan-perayaan Natal itu sendiri. Demikianlah terlihat kesibukan yang luar biasa selama masa Natal, yang membuat banyak orang harus simpang-siur.

Seluruh perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal yang jadinya terlupa, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.

Berkembangnya “tanggal” perayaan Natal

Pada awalnya, perayaan Natal tanggal 25 Desember dibuka pada malam sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kebiasaan Gereja untuk mengadakan kebaktian khusus pada malam sebelumnya untuk menyambut hari besar esoknya. Itulah sebabnya setiap tanggal 24 Desember malam, jemaat berkumpul di Gereja secara bersama-sama, dan kebaktian dilaksanakan atas nama jemaat setempat secara keseluruhan, tidak atas nama kelompok tertentu. Kemudian jemaat akan datang lagi tanggal 25  dan 26 Desember untuk merayakan Natal. Tetapi dengan perkembangan di atas, maka tanggal perayaan itu ditentukan sendiri menurut kesempatan pelaksana perayaan. Kebiasaan ini dimulai oleh sekolah-sekolah. Karena mereka  akan berlibur pada waktu Natal, maka perayaan Natal itu diadakan pada tanggal sebelumnya. Hal ini dilaksanakan juga oleh kantor-kantor, kumpulan-kumpulan marga dan persatuan sosial lainnya, termasuk oleh kelompok-kelompok kategorial dalam jemaat.

Tanggal yang dilihat paling sesuai pada umumnya adalah sebelum tanggal 25 Desember. Memang ada juga kelompok yang mencoba mengadakannya sesudah tanggal 25 Desember, tetapi selalu terdengar suara-suara yang keberatan, yang menginginkan agar hari-hari sesudah tanggal 25 Desember sebaiknya dibiarkan bebas untuk mengadakan persiapan merayakan Tahun Baru, atau untuk kegiatan penutupan pembukuan dan laporan-laporan tahunan yang penting  bagi sebagian kantor-kantor dan perusahaan. Dengan alasan seperti itu, bila bulan Desember sudah tiba, itu seolah-olah menjadi pertanda dimulainya perayaan-perayaan Natal.

Seluruh perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal yang jadinya terlupa, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.

Berkembangnya “cara” perayaan Natal

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Natal itu dirayakan sebagai kebaktian di gereja. Bagi jemaat yang dipengaruhi oleh penginjilan Jerman perayaan dilaksanakan dengan pola yang disebutkan sebelumnya, yaitu pembacaan berita penciptaan hingga kelahiran Yesus. Bagi jemaat yang dipengaruhi oleh Penginjilan Belanda, maka corak perayaannya berbeda. Seturut perkembangan yang disebutkan sebelumnya, maka perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan di luar jemaat melibatkan anggota-anggota jemaat dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Lalu terjadilah penggabungan dari cara-cara perayaan itu. Sebagian lagi masih tetap dengan cara masing-masing.

Dalam perjalanan waktu mulailah terlihat bahwa perayaan ini diiringi dengan acara menikmati makanan kecil untuk menghangatkan suasana dan sekali gus dengan itu membutuhkan adanya acara-acara hiburan. Lama kelamaan, acara-acara hiburan ini pun terlihat menjadi sangat penting dan membutuhkan variasi dari tahun ke tahun. Lalu berkembanglah penampilan acara-acara hiburan dan dari segi waktu, acara ini mendominasi seluruh waktu perayaan. Seturut dengan perkembangan ini pun, maka berkembanglah dekorasi dari berbagai jenis, kebutuhan akan makanan kecil, bahkan terkadang hingga makan siang atau makan malam. Acara sedemikian menuntut tata krama tersendiri sebagaimana layaknya sebuah pesta dalam resepsi perkawinan misalnya, sehingga personil yang terlibat di dalamnya semakin beranekaragam, termasuk penerima tamu, petugas dalam melayani makan dan sebagainya. Demikianlah pakaian-pakaian dan cara berhias lainnya menjadi sangat menentukan. Seluruh perkembangan ini akan berakibat langsung pada biaya penyelenggaraan Natal. Dia tampil menjadi suatu pesta mewah.

Selain daripada itu, penekanan masyarakat akan aspek hiburan dalam perayaan Natal juga menyelusup masuk ke dalam kebaktian. Lama kelamaan kebaktian dirakit agar mampu memberi variasi dan lebih memunculkan suasana ceria. Demikianlah tari-tarian, drama, penyanyi-penyanyi tunggal atau Paduan Suara menjadi sangat penting. Walau pun khotbah memang tetap diberi tempat tersendiri, tetapi  acara lainnya menjadi bagian dari hasil fantasi orang-orang yang merakit acara itu dengan selera hiburan tersebut. Sebagian memang dari sudut seni sangat memukau, tetapi jelas terlihat, bahwa kebutuhan yang mendasarinya adalah keinginan untuk hal-hal yang berbau hiburan dan spektakuler.

Penampilan seperti ini akan tampil dalam bentuk lain di desa-desa. Kekurangan hiburan mengakibatkan Natal menjadi suatu perayaan yang dinantikan dan akan benar-benar dipersiapkan agar sungguh-sungguh memenuhi selera. Walau pun suasana berbeda dibanding dengan di kota, tetapi coraknya sama, dan akibatnya tetap membutuhkan dana besar. Namun segala usaha akan dijalankan untuk mengumpulkan sumbangan-sumbangan, entah mencetak kalender sebagai alasan meminta sumbangan atau mengedarkan undangan yang mempunyai kupon sumbangan. Bahkan di beberapa desa yang terletak di tepi jalan raya, anak-anak muda ditugaskan untuk mencegat mobil-mobil yang lewat untuk memohon sumbangan.

Perkembangan kebutuhan ini memang diperhatikan oleh industri, oleh karena itu sejak tahun 1970-an, bahkan sejak terbukanya Indonesia untuk lebih bebas dalam peredaran modal, maka seluruh kebutuhan Natal pun menjadi bagian dari industri. Sebagaimana layaknya dalam masyarakat industri pada umumnya, yaitu bahwa industri harus mampu untuk mencipta kebutuhan, bukan mengikuti kebutuhan masyarakat, maka keseluruhan corak perayaan Natal akhirnya menjadi bagian dari konsumerisme dalam segala bagian-bagiannya, baik kebaktiannya, dekorasinya, pakaian, dan gedung-gedung yang digunakan.

Seluruh perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal yang jadinya terlupa.






Nama               :  Pdt. Bonar Lumbantobing
Isteri                :  E.Ch. br. Pardede
Anak               :  3 orang.
Study               :  S-1 tahun 1976 di STT Jakarta.
                        : S-2 tahun 1983 di STT Jakarta
                        :  S-3 Univ. Heidelberg Jerman (belum selesai)
Sekarang         :  Dosen STT HKBP untuk Perjanjian Lama 1986 – 2000; 
                          untuk Etika dan Perjanjian Lama  200 – sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN MINGGU ADVENT I 28 NOVEMBER 2021

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN (1 Tesalonika 3: 9-13) Surat ini ditujukan kepada komunitas pengikut Kristus di Tesalonika. L...