Jumat, 01 November 2019

RENUNGAN MINGGU XX SETELAH TRINITATIS, 3 NOVEMBER 2019

Peliharalah Kehidupan Yang Suci 

(Efesus 5 : 22- 33)


Kehidupan yang benar bermula dari bagaimana kita dapat memahami nilai kehidupan itu sendiri, baik dalam hal pekerjaan, kehidupan bermasyarakat, kehidupan secara individu, kehidupan keagamaan serta kehidupan dalam keluarga seperti perkawinan. Dengan pemahaman itu, kita akan mampu membentuk karakter moral kita apa dan bagaimana semestinya. Kita akan dituntun untuk menghargai kehidupan kita secara pribadi dan akan menghantar kita untuk kehidupan selanjutnya. Menghargai nilai dari sebuah kebaikan, tentu kita akan berusaha untuk memahami apa nilai kebenaran, keadilan, kasih serta tanggung jawab baik secara moral maupun spritual. Artinya bagaimana kita awali dari diri kita sendiri, bagaimana kita mampu menempatkan diri kita di posisi yang sebenarnya, dengan demikian kita akan memahami apa dan bagaimana tugas kita.

Dalam dunia perkawinan, sudah terlalu sering kita dengarkan kasus perceraian dengan banyak alasan, seperti misalnya: “kurang kecocokan, karena tidak memiliki keturunan, masalah ekonomi, masalah pekerjaan. Dengan alasan seperti ini cenderung terjadi pembenaran diri, padahal kalau kita coba merenungkan janji kita sebelum menikah ada 3: saling mencintai, tidak akan dipisahkan oleh apapun kecuali maut/kematian, sehati sepikir. Artinya; jikalau kita merenungkan kembali semuanya itu tidak ada alasan untuk bercerai. Di sisi lain, adanya pandangan tentang perbedaan status, ada banyak orang mengatakan, bahwa status laki-laki adalah lebih tinggi, sehingga melihat isterinya hanya sebuah pelengkap, bukan sebagai bagian dari kehidupannya. Terlebih dengan kalimat: ”Hai perempuan, tunduklah pada suamimu.” Kalimat ini membawa kepada berbagai pemahaman yang salah, sepertinya bahwa perempuan itu ada sepenuhnya dalam kekuasaan suaminya. Sehingga terkadang perkawinan menjadi sebuah belenggu/penjara kebebasan, hak, kehidupan dari seorang perempuan. Hal ini juga terjadi pada jamannya Kekaisaran Romawi, di mana ditemukan kemerosotan moral yang luar biasa, terutama sekitar tahun 234 BC jamannya Spurius Carvilius Ruga; perkawinan sangatlah memprihatinkan, sebab menikah untuk diceraikan, dan dapat berulang-ulang. Saat itu boleh jadi seorang perempuan menjadi istri yang ke-23 dari seorang laki-laki, dan laki-laki menjadi suami ke-20 dari seorang perempuan.

Menjadi titik dasar nats ini adalah KASIH. Pengorbanan, kesetiaan dan ketaatan, saling menghargai satu dengan yang lain; Paulus mau katakan kepada para suami agar kiranya mengasihi isterinya, seperti Kristus mengasihi jemaatNya, rela berkorban, ada kesetiaan, sehingga dengan demikian akan melahirkan kesetiaan juga dari isterinya, dan juga bagaimana seorang isteri harus menjaga harkat suaminya. Tentu masing-masing harus mampu mengalahkan diri, membentuk orientasi pemahaman yang baru dalam kebersamaan visi dan misi keluarga. Artinya dalam perkawinan, masing-masing harus memiliki komitmen, kewajiban, tugas, kepatuhan dan pelayanan, kesetiaan, kejujuran, saling merendahkan diri dalam takut akan Tuhan. Masing-masing harus melihat keberadaan mereka bukanlah dua pribadi yang berbeda, akan tetapi adalah sebuah kesatuan. Dengan demikian mereka akan hidup kudus di hadapan Allah. Selamat hari Minggu. (HS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN MINGGU ADVENT I 28 NOVEMBER 2021

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN (1 Tesalonika 3: 9-13) Surat ini ditujukan kepada komunitas pengikut Kristus di Tesalonika. L...