Senin, 16 Februari 2015

RENUNGAN MINGGU ESTOMIHI, 15 FEBRUARI 2015


Awas, Ada roh Narsisi! (2 Korintus 4:3-6)







“Dilarang narsis”, begitu tertulis pada sebuah dinding. Apakah narsisme sudah masuk dalam tindakan membahayakan sehingga harus dilarang? Entahlah, tetapi belakangan ini kita sering mendengar dan menyaksikan cerita ataupun aksi narsis sebagian orang, dengan atau tanpa tongsis (tongkat narsis). Salah satu terjemahan Kamus Bahasa Indonesia terhadap kata narsisme adalah “hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan. “Lalu, apakah mungkin aksi narsis masuk ke dalam kehidupan gereja?
Di jaman pelayanannya, rasul Paulus pernah mendapat perlawanan dari rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus (11:13). Cinta diri secara berlebihan tampak dalam rupa menyombongkan dan mengedepankan pengetahuan, hikmat, kekuatan, status social dan kecakapan retorika, memuji kehebatan-kehebatan mereka sendiri. Celakanya, tidak sedikit jemaat Korintus yang terpengarus cara dan gaya rasul-rasul palsu tersebut karena mereka piawai dalam mengolah kata dan bahasa. Mereka juga meragukan dan merendahkan kerasulan Paulus karena dia dianggap pernah tidak menepati janji (band. 1:15), tidak memiliki surat rekomendasi kerasulan (band. 3:1-3) tidak memiliki persekutuan dengan Kristus (10:7), dituduh mengambil uang sumbangan (band. 11:8-9), tidak ada pengalaman rohani (band. 12:1-10).
Menggumuli konteks pada jaman Paulus, ternyata sikap ataupun gaya narsisme rohani, dalam bentuk yang berbeda, telah ada pada waktu itu. Memuji diri sekaligus melukai perasaan orang lain. Bisa saja pengalaman seperti itu merasuk hingga merusak persekutuan di gereja masa kini. Memuji kehebatan dan keberhasilan pelayan gerejanya sekaligus merendahkan martabat gereja dan pelayan gereja di tempat lain. Narsisme rohani sering di bangun di atas dasar aktualisasi diri dan perendahan terhadap hak azasi. Anehnya, banyak warga jemaat yang tidak menyadari keadaan tersebut serta mengikutinya.
Khotbah hari ini mengingatkan sedikitnya dua hal. Pertama, hindarilah narsisme rohani. Bekerjalah  dengan rendah hati. Apapun profesinya, orang percaya terpanggil menjalankan profesi itu dengan setulus hati bukan untuk dipuji. Hal senada juga disampaikan Jansen H. Sinamo dalam salah satu bukunya yang berjudul 8 Etos Kerja Profesional. Ia mengatakan bahwa Kerja adalah Pelayanan: Aku bekerja Paripurna Penuh Kerendahan Hati. Tidak ada yang perlu disombongkan karena semua adalah pemberian Tuhan untuk kemuliaan Tuhan. Bukankah Tuhan dapat mengambil apa yang Dia beri jika manusia tidak menjalankannya dengan sepenuh dan setulus hati?
Kedua, Pertahankan jati diri. Sekalipun melayani dengan setulus hati, bukan berarti tidak ada pihak yang iri dan dengki. Dewasa ini, meski apresiasi diberikan kepada banyak orang percaya yang berkarya setulus hati, namun tidak sedikit yang masih tersakiti. Serangan dan tuduhan yang merontokkan semangat dan harapan acapkali dilakoni dunia ini. Bukankah iblis juga pernah mencobai Yesus di padang gurun dengan menyerang status ke-Anak-an-Nya: “Jika Engkau Anak Allah…” (Mat. 4:3) dan Dia menang. Jadi, jangan gentar, jangan korbankan jati diri. Jangan caci, jangan benci orang yang membuat hatimu sedih. Bertahanlah, sebab Tuhan menopangmu. Amin.

Selamat Hari Minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN MINGGU ADVENT I 28 NOVEMBER 2021

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN (1 Tesalonika 3: 9-13) Surat ini ditujukan kepada komunitas pengikut Kristus di Tesalonika. L...