Selasa, 02 Desember 2014

RENUNGAN MINGGU ADVENT I, 30 NOVEMBER 2014




MINGGU ADVENT I, 30 NOVEMBER 2014
Menyambut Kedatangan Tuhan, Bapa Kita (Yesaya 64:1-9)



MINGGU ADVENT I, 30 NOVEMBER 2014

Menyambut Kedatangan Tuhan, Bapa Kita (Yesaya 64:1-9)

S
ore itu, suara petir bergelora di tengah derasnya hujan mengguyur kota Pondok Gede. Kendati tidak terlalu lama, namun suaranya yang menggelegar menghentak ketenangan jiwa. Tampaknya, tak ada soundsystem di dunia yang mampu mengimbangi atau mengalahkan gelegar suaranya. Sepertinya, alam hendak menunjukkan kembali sebagian dari keperkasaannya. Sepertinya, dia hendak mengingatkan betapa ringkihnya dan rapuhnya umat manusia dibandingkan alam semesta ciptaan-Nya. Hati kembali tertegun. Itu baru suara kedatangan petir, bagaimana pula suara kedatangan Tuhan Allah?
            Sekeluarnya Israel dari pembuangan Babel, Yesaya menggambarkan kedatangan Allah mengakibatkan gunung-gunung bergoyang, ranggas menyala-nyala, air mendidih, dan bangsa-bangsa gemetar. Suatu kedahsyatan yang belum pernah terjadi di dunia (ay. 1-3). Yesaya mengatakan bahwa Tuhan datang untuk menyambut orang yang menanti-nantikan Dia, yaitu orang yang hidup dalam kebenaran dan berjalan dalam jalan-Nya. Namun bukan hanya itu. Tuhan Allah juga datang untuk menghakimi orang berdosa yang memberontak kepada-Nya. Yesaya mengakui dan menyesali kejahatan umat-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Dia menyebut Allah itu adalah Bapanya Israel dan Israel adalah tanah liat. “Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat…” (ay.9).
            Permohonan Yesaya dan umat Israel semestinya menjadi permohonan gereja (baca: orang percaya) sepanjang masa dalam merayakan Advent. Gereja berseru: “Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat!” Di sini jelas, gereja (orang percaya) statusnya adalah tanah liat bukan tuan tanah bukan pula pencari tanah tak bertuan. Orang percaya semestinya terus-menerus menyadari bahwa dirinya adalah tanah liat yang harus seturut dengan bentukan Bapanya. Untuk dapat seturut dengan kehendak Bapa, maka gereja dan orang percaya senantiasa rendah hati sebab “tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan” (Ams 18:12). Kerendahan hati dimungkinkan terjadi ketika orang percaya menjalin relasi dengan Bapa. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang punya status jelas tanpa hubungan yang jelas. Seperti keluhan seorang pemudi “status tanpa hubungan”. Ada pula yang mengeluh dengan keadaan “hubungan tanpa status.” Bahaya loh, kalau statusnya jelas tapi hubungannya tak jelas, atau sebaliknya, hubungan ada tapi statusnya entah bagaimana. Ibarat punya HP tapi tak ada pulsa atau signal atau sebaliknya ada signal tetapi tak ada HP-nya.
            Kita mengimani dan mengamini apabila Allah menghadapkan wajah-Nya maka berkat-Nya akan nyata (Bil. 6:24-26). Sebaliknya, jikalau Allah menyembunyikan atau memalingkan wajah-Nya terhadap suatu umat, maka yang terjadi adalah kutuk dan hukuman. Tidak ada gunanya manusia membela diri atau membenarkan diri di hadapan Allah. Bukankah manusia adalah tanah liat? Karena itu, datanglah dan mohonlah keampunan dosa dalam hati yang remuk di hadapan-Nya, sebab korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mzm 51:19).
Selamat Advent. Selamat beribadah.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN MINGGU ADVENT I 28 NOVEMBER 2021

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN (1 Tesalonika 3: 9-13) Surat ini ditujukan kepada komunitas pengikut Kristus di Tesalonika. L...