Jumat, 26 September 2014

MINGGU XV DUNG TRINITATIS 28 SEPTEMBER 2014 Matius 21: 23-32

MINGGU XV DUNG TRINITATIS 28 SEPTEMBER 2014
Matius 21: 23-32


Bruno Hagspiel mengisahkan seorang berpendidikan tinggi yang pada suatu ketika dengan serius mengumumkan kepada teman-temannya bahwa ia  tidak akan pernah percaya kepada apa pun yang tidak ia mengerti. Seorang petani tua mendengar pernyataan itu dan berpaling kepada intelektual muda itu dan berkata, “Ketika saya pergi ke kota hari ini, saya melewati padang rumput di mana beberapa ekor domba sedang makan. Apakah engkau percaya?” “Ya,” kata intelektual muda itu. “Baik, sekarang, engkau dengar,” kata petani itu. “Rumput yang dimakan domba berubah menjadi bulu domba. Apakah engkau percaya akan hal itu?” “Ya,” jawab intelektual muda itu. Apakah engkau mengertinya?” “Tidak,” jawab intelektual muda itu. “Anak muda,” kata petani, “jika umurmu cukup tua, engkau akan menemukan bahwa ada banyak sekali hal yang engkau percaya tanpa mengerti. Allah adalah salah satu di antaranya.” Tidak jarang kita melihat atau mendengar bahwa seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan seseorang, justru semakin meningkatkan keraguannya terhadap otoritas/kuasa Allah. Hal senada juga disampaikan St Bernard of Clairvaux, “Kehilangan uang, kesehatan, kepercayaan atau orang-orang yang kita cintai adalah kehilangan besar, tetapi tragedi paling besar adalah kehilangan kepercayaan.”
Dahulu, para pemuka agama Yahudi, seperti yang disampaikan Matius 21:23-32, tidak percaya kepada Tuhan Yesus dan kuasa yang dimiliki-Nya. Mereka juga cemburu melihat Yesus, karya-Nya dan pengikutNya yang bertambah banyak. Bagi pemuka agama, keberadaan Yesus mengusik dan mengancam eksistensi mereka sehingga, menurut mereka, Yesus harus disingkirkan secepat mungkin. Segala cara dilakukan, termasuk mempertanyakan asal-usul kuasa-Nya, sebagai pintu masuk untuk menjebak, menyudutkan dan menjatuhkan Yesus. Tuhan Yesus mencela sikap para imam yang tidak memercayai-Nya dan pemberitaan Yohanes pembaptis. Yesus mengibaratkan mereka seperti seorang anak yang menjawab “ya” atas perintah ayahnya, namun justru tidak melakukannya (bnd. Mat. 5:37). Tidak ada konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Sebaliknya para pemungut cukai dan perempuan sundal diibaratkan seperti seorang anak yang menyesali perbuatannya dan bertobat.
Sadar atau tidak sadar, berbagai jebakan dipakai si jahat untuk merontokkan semangat, mental dan menggerogoti keyakinan orang percaya terhadap Yesus. Si jahat terus berupaya agar orang percaya semakin meragukan Yesus, sehingga sekalipun seseorang rajin marminggu, namun rajin pula mardatu. Rajin marende rajin pula mandate dan mandele. Rajin membaca Alkitab marsundutsundut tetapi rajin pula marungutungut. Si jahat terus berupaya agar orang percaya semakin tidak peduli kepada Yesus sehingga sekalipun seseorang rajin marminggu, namun rajin pula ia marmitu dan markartu. Rajin beribadah, tetapi rajin pula manarita dan marbada.
Senada dengan itu, tidak sedikit kawula muda yang semakin galau dan meragukan jawaban Tuhan terhadap doa-doanya. Mulai dari persoalan pekerjaan yang kurang mapan hingga urusan soul mate yang tak memberi rasa nyaman. Sebagian lagi mencoba mencari tuhan alternatif/instan  yang dirasa super cepat dan hebat. Tidak sedikit pula keluarga Kristen yang digoyah berbagai badai kehidupan sehingga rentan terhadap keretakan. Masih banyak jebakan-jebakan lainnya yang bisa saja membuat orang percaya tersudutkan dan dipermalukan. Namun apapun jenis jebakan kehidupan itu, orang percaya terus diajak untuk meyakini kuasa Kristus dengan senantiasa berkarya dengan mengandalkan Tuhan, bersabar dalam pencobaan dan bersyukur dalam segala hal.

Selamat beribadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN MINGGU ADVENT I 28 NOVEMBER 2021

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DALAM KEKUDUSAN (1 Tesalonika 3: 9-13) Surat ini ditujukan kepada komunitas pengikut Kristus di Tesalonika. L...