''Marsipajojoron” pada Natalan
semasa Sikola Minggu dahulu adakah di antara kita yang sudah melupakannya? Ketika
itu bulan Desember rasanya terlalu lama tiba.
Pada awal bulan November, ibu saya membawa saya dan empat adik saya ke Tukang Taylor untuk menempahkan
(bukan rombengan, lho) baju natal
dengan corak yang seragam agak kedodoran, kemudian membeli sepatu yang agak mulbakulbak
(kata orangtuaku; karena kami sedang
dalam pertumbuhan supaya boleh dipakai lebih lama, dan agar kelak adik-adikku
kelak boleh memakainya).
Pada Pertengahan bulan November kami
menerima sipajojoron dari amang Voorganger, kemudian marsiajar marsipajojoron
selama kurang lebih satu bulan. Para orangtua akan sangat bangga jika
anak-anaknya sudah boleh menghapalkan sipajojoronnya masing-masing.
Tiba saatnya tanggal 23 Desember
waktunya untuk memakai baju tempahan tersebut. Sepatu dengan kaus kaki yang
agak tebal, dan Tancho Lavender. Tiga orang adik perempuanku dengan dandanan tak
biasa dengan rambut kepang dua, bibirnya diberi lipstick warna merah sangat menor.
Kemudian masing-masing diberi durungdurung.
Selama di perjalanan menuju gereja
masing-masing asyik dengan pikiran masing-masing menghapal Sipajojoronnya. Karena
dengan perasaan riang gembira menempuh perjalanan 1,5 KM dengan berjalan kaki,
tidaklah terasa melelahkan. Akhirnya kami sampai di gereja. Gereja sudah
dihiasi dengan Gabagaba, Pohon Natal dari batang Pisang yang di tusuki dengan
dahan ranting pohon Pinus, ditancapi dengan bambu untuk tempat Lilin. Di puncak
Pohon Natal tersebut di beri Salib dari bambu, masing-masing di kiri kanan dan
kepala Salib itu diberi Lilin Natal.
Gabagaba,
gabagaba, mansai uli rupamu.
Marhillonghillong
lilin i, dohot sude harotas i.
Gabagaba,
gabagaba mansai uli rupamu.
(Gabagaba, gabagaba, sungguh indah rupamu.
Lilinmu bersinar terang, menerangi
kegelapan.
Gabagaba, gabagaba, sungguh indah rupamu).
Begitu syair lagunya.
Saya masih ingat Sipajojoron adikku si
Hajut semasa Sekolah Minggu belum
sekolah: ''Di mula ni mulana ditompa Debata ma, langit dohot tano on (yang benar adalah: Di mula ni mulana
ditompa Debata langit dohot tano on) - Pada mulanya Allah menciptakan
Langit dan Bumi'' (Kejadian 1:1).
Proses pengucapan Sipajojoron itu
dilatih sebelumnya sudah dilatih oleh amang Voorganger dan para amang inang Sintua
dengan baik. Salah seorang amang Sintua memandu satu baris demi satu baris
setiap anak belum sekolah untuk maju ke depan Altar. Ada anak yang harus
dibujuk, ada yang menangis, ada yang dengan percaya diri ingin segera tampil ke
depan, sambil mulut komat-kamit menghapalkan Sipajojoron yang akan diucapkan.
Begitu sampai di depan dengan dipandu amang sintua, amang sintua yang lain mengetuk
bangku, ketukan pertama pertanda siap-siap, dua ketukan tanda tangan di angkat
dan dilipat di atas pusar. Kemudian barisan terdepan satu persatu segera
mengucapkan Sipajojoronnya.
Hehehehe, Seluruh peserta kebaktian
di dalam gereja berdiri di tempat, ada yang jinjit, ada yang menginjak bangku
gereja, untuk menyaksikan anak-anaknya mengucapkan kalimat itu. Mereka tertawa,
karena mendengar pengucapan anak-anak dengan manja terbata-bata dan lucu. Sayang
saat itu belum banyak kamera apalagi video seperti sekarang ini. Yang ada hanya
Kodak ni si KODAK (Tukang Gambar nama Tokonya KODAK, dan nama jenis kameranya
saat itu bermerek Kodak), saat itu hanya anak paradongan yang mampu markodak.
Tiba giliran bagi adikku Hajut dengan percaya diri mengucapkan
Sipajojoronnya: “Di Tulang ni Tulangna ditompa Debata ma, langit dohot tano on,
amen!” Tiba-tiba secara serentak
semua orang tertawa terbahak-bahak sampai amang Vorganger berdiri dari tempat
duduknya untuk melihat adikku. (bapakku yang
saat itu di sampingku spontan berkata; mate ma hita! So manang songoni ho huajari
amang tondingku!) Setelah satu persatu peserta selesai
mengucapkan Sipajojoronnya, kemudian amang sintua menyuruh mereka untuk
bersama-sama mengucapkan Sipajojoron tersebut. Ketika mereka sudah selesai
mengucapkan secara bersama-sama, amang sintua memberi tanda satu ketukan sebagai
tanda untuk menunduk tanda hormat, dan dua kali ketukan sebagai tanda untuk menghadap
ke kanan, tiga kali ketukan untuk turun dan berjalan menuju bangku tempat duduk,
ketika mendekat ke bangku tempat duduk amang sintua yang lainnya, membagikan “Bonbon
Betlehem” dari Gula Sangka kepada setiap anak yang pajojorhon. Amboi indahnya.
Suasana masih gaduh, semua orang
bertanya, mengapa si Hajut mengucapkan: “Di Tulang ni Tulangna ditompa
Debata ma, langit dohot tano on, amen!”?. Melihat situasi tersebut, orangtuaku menerangkan
kepada orang-orang di dekatnya tentang hal itu. Adikku si Hajut mengucapkan “Di Tulang ni Tulangna”, karena
tulangnya siampudan yang namanya si Mula sedang ikut bernatal pada
kesempatan itu dan berdiri memandangi si Hajut. Sehingga dia ketakutan kepada
tulangnya itu. Pada umumnya anak-anak Batak, dan khususnya si Hajut diajarkan dengan
keras oleh amongnya untuk tidak pernah menyebut nama Tulangnya. Karena jika
sengaja menyebut nama Tulang, maka mulutnya akan Sariawan (malala) dan tanaman
(andor) yang ditanamnya akan layu.
Catatan :
Marsipajojoron
: Mengucapkan satu ayat atau dua
ayat nas Alkitab di depan Altar ketika Natal
Rombengan
: Pakaian bekas, atau
pakaian jadi dari pasar
Mulbakulbak: Kebesaran, kedodoran
Sipajojoron:
Satu ayat atau dua ayat
nas dari Alkitab
Amang
Sintua: Bapak Penatua Gereja
Durungdurung:
Sejumlah uang untuk Kolekte
Tulang: Saudara laki-laki dari ibu yang
melahirkan kita
Vorganger: Majelis
Gereja Pimpinan jemaat
Mate ma hita! So manang songoni ho huajari amang
tondingku!: Matilah kita! Bukan begitu yang ayah ajarkan kepadamu anakku sayang!
Gula
Sangka: Permen/bonbon dari
Gula Aren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar