NATAL “YANG TERLUPAKAN”
(Dikutip
dari catatan: Pdt. Bonar Lumbantobing)
I. Tanda-tanda
“kelupaan”
Berikut ini akan disampaikan beberapa hasil pengamatan yang panjang, yang
sebenarnya masih membutuhkan dukungan data yang lebih lengkap. Namun karena dalam
buku ini hanya gejalanya yang akan ditunjukkan, maka data lengkap diharapkan
akan muncul melalui penelitian-penelitian yang mungkin boleh diinspirasikan
oleh tulisan ini. Adapun pengamatan yang dimaksud di sini, akan dibatasi pada
adanya tiga perkembangan dalam perayaan Natal, yaitu perkembangan yang
berkaitan dengan pelaksana perayaan, berkaitan dengan tanggal perayaan Natal
dan berkaitan dengan cara perayaan Natal, sebagai berikut:
Berkembangnya
“pelaksana” perayaan Natal
Pada awalnya
perkembangan baru bersifat positip: Sampai tahun 1950-an, pada umumnya perayaan
Natal berlangsung di gedung-gedung gereja dan merupakan perayaan yang
dilaksanakan oleh jemaat setempat. Di beberapa tempat muncullah
perayaan-perayaan Natal yang diadakan oleh Sekolah-sekolah Dasar dan berbagai
Sekolah Menengah yang dilaksanakan di gedung-gedung Gereja. Hal
ini sudah mulai terlihat pada awal tahun 1950-an di daerah Sumatera Utara
dimulai di daerah Tapanuli.
Perkembangan selanjutnya terlihat melalui gerakan yang positip juga, yaitu
munculnya perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara ekumenis. Gereja-gereja yang berbeda-beda
keluar dari jemaat masing-masing dan berkumpul untuk mengadakan perayaan
bersama. Di beberapa tempat, kebaktian seperti ini dimotivasi oleh Angkatan
Bersenjata, yang karena tugasnya tidak selalu terikat pada satu jemaat saja,
sehingga jemaat-jemaat lokal dengan senang hati turut bergabung menyertai
angkatan Bersenjata untuk merayakan Natal. Ini jadinya merupakan kesempatan
bagi jemaat-jemaat untuk beribadah bersama dengan jemaat-jemaat yang selama ini
berkumpul sendiri-sendiri. Di daerah Medan misalnya terdapat perkembangan lain,
yaitu tersedianya fasilitas umum dengan dibangunnya Stadion Teladan,
mempengaruhi intensitas perayaan Natal secara ekumenis.
Dengan pecahnya
gerakan yang kemudian disebut sebagai G30S/PKI, maka kehidupan beragama lebih
digiatkan, bahkan melampaui batas-batas pelaksanaan kegiatan agama yang selama
ini terbatas untuk kalangan lokal. Hal ini sejajar dengan perhatian Orde Baru
terhadap bidang keagamaan tidak hanya dalam organisasi keagamaan, tetapi juga
hidup keagamaan dari para pegawai pemerintahan. Perhatian ini didukung oleh
fasilitas yang disediakan bagi kantor-kantor dan instansi pemerintahan misalnya,
bahkan hingga dukungan dana. Beberapa kegiatan keagamaan bahkan ditangani dan
difasilitasi secara langsung oleh pemerintah. Para pegawai yang beragama
Kristen jadinya turut juga menikmati kesempatan ini.
Perayaan Natal pun dipengaruhi olehnya: Kantor-kantor dan instansi
pemerintahan mengadakan perayaan Natal di lingkungan kantor mereka
masing-masing. Bila keadaan mendukung, perayaan itu dilaksanakan di gedung
sendiri, kalau tidak, dilaksanakan di gedung-gedung umum yang lebih luas,
tetapi jarang diadakan di gedung gereja. Perayaan ini pun menunjukkan sifat
ekumenisnya, terlihat dari pengkhotbah yang diundang, atau pemimpin doa syafaat
mau pun pemberi renungan Natal, yang biasanya adalah pelayan-pelayan penuh
waktu dari Gereja-gereja yang anggotanya ada di kantor tersebut.
Khusus di Sumatera Utara dan juga jemaat di pulau-pulau lain yang berasal
dari Gereja-gereja bekas asuhan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) – yaitu
sebuah lembaga Pekabaran Injil dari Jerman-, terdapat suatu tradisi perayaan
Natal: pada tanggal 25 dan 26 Desember anak-anak akan bertugas dalam kebaktian
untuk mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah dihafal luar kepala. Sebanyak delapan hingga sepuluh
anak-anak akan bergiliran maju ke depan untuk mengucapkan ayat itu. Ayat-ayat
tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Berita Penciptaan,
2. Kejatuhan Manusia ke dalam
dosa,
3. Janji kedatangan Messias,
4. Kelahiran Juruslamat dan
5. Ucapan Syukur atas keselamatan.
Kesempatan ini
merupakan suasana gembira, di mana anak-anak akan mengenakan baju baru, dan
seluruh keluarga akan menantikan giliran anaknya memberitakan ayat itu di
depan. Setelah perayaan Natal diadakan di sekolah-sekolah Sumatera Utara, maka
kebiasaan mengucapkan ayat hafalan ini diambil alih oleh Sekolah-sekolah tersebut
dalam perayaan mereka di luar lingkungan jemaat.
Pada kurun waktu
1970-an di Sumatera Utara, sejajar
dengan perkembangan perayaan Natal oleh instansi pemerintahan, muncullah
perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh kelompok-kelompok
marga, kumpulan sosial di tingkat RT/RW atau Lorong-lorong dan Wijk. Di tingkat
jemaat lokal pun berkembang juga perayaan Natal: kelompok kaum Ibu, kaum Bapak,
Muda/i bahkan Majelis Jemaat dengan keluarganya,
juga akan mengadakan perayaan sendiri-sendiri yang dilangsungkan di gedung
gereja. Selain itu, lingkungan atau rayon yang dilayani oleh para Penatua,
kemudian mengadakan perayaan, terkadang dilaksanakan di lingkungan sendiri atau
di gedung gereja. Kebiasaan untuk mengucapkan ayat hafalan dari Alkitab, yang
tadinya adalah acara untuk anak-anak, jadinya dilakukan oleh orang dewasa, baik
kaum bapak, Ibu mau pun muda/i.
Dengan demikian ada
kemungkinan bahwa dalam masa Natal itu seseorang termasuk ke dalam berbagai
kelompok pelaksana perayaan Natal; atau, mungkin saja satu orang atau satu
keluarga, selain termasuk ke dalam berbagai kelompok pelaksana perayaan, juga
menjadi undangan pada berbagai perayaan-perayaan Natal itu sendiri. Demikianlah
terlihat kesibukan yang luar biasa selama masa Natal, yang membuat banyak orang
harus simpang-siur.
Seluruh
perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal
yang jadinya terlupa, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.
Berkembangnya
“tanggal” perayaan Natal
Pada awalnya,
perayaan Natal tanggal 25 Desember dibuka pada malam sebelumnya. Hal ini sesuai
dengan kebiasaan Gereja untuk mengadakan kebaktian khusus pada malam sebelumnya
untuk menyambut hari besar esoknya. Itulah sebabnya setiap tanggal 24 Desember
malam, jemaat berkumpul di Gereja secara bersama-sama, dan kebaktian
dilaksanakan atas nama jemaat setempat secara keseluruhan, tidak atas nama
kelompok tertentu. Kemudian jemaat akan datang lagi tanggal 25 dan 26 Desember untuk merayakan Natal. Tetapi
dengan perkembangan di atas, maka tanggal perayaan itu ditentukan sendiri
menurut kesempatan pelaksana perayaan. Kebiasaan ini dimulai oleh
sekolah-sekolah. Karena mereka akan
berlibur pada waktu Natal, maka perayaan Natal itu diadakan pada tanggal
sebelumnya. Hal ini dilaksanakan juga oleh kantor-kantor, kumpulan-kumpulan
marga dan persatuan sosial lainnya, termasuk oleh kelompok-kelompok kategorial
dalam jemaat.
Tanggal yang
dilihat paling sesuai pada umumnya adalah sebelum tanggal 25 Desember. Memang
ada juga kelompok yang mencoba mengadakannya sesudah tanggal 25 Desember,
tetapi selalu terdengar suara-suara yang keberatan, yang menginginkan agar
hari-hari sesudah tanggal 25 Desember sebaiknya dibiarkan bebas untuk
mengadakan persiapan merayakan Tahun Baru, atau untuk kegiatan penutupan
pembukuan dan laporan-laporan tahunan yang penting bagi sebagian kantor-kantor dan perusahaan.
Dengan alasan seperti itu, bila bulan Desember sudah tiba, itu seolah-olah
menjadi pertanda dimulainya perayaan-perayaan Natal.
Seluruh
perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal
yang jadinya terlupa, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut.
Berkembangnya
“cara” perayaan Natal
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, Natal itu dirayakan sebagai kebaktian di gereja. Bagi
jemaat yang dipengaruhi oleh penginjilan Jerman perayaan dilaksanakan dengan
pola yang disebutkan sebelumnya, yaitu pembacaan berita penciptaan hingga
kelahiran Yesus. Bagi jemaat yang dipengaruhi oleh Penginjilan Belanda, maka
corak perayaannya berbeda. Seturut perkembangan yang disebutkan sebelumnya,
maka perayaan-perayaan Natal yang dilaksanakan di luar jemaat melibatkan
anggota-anggota jemaat dari berbagai latarbelakang yang berbeda. Lalu
terjadilah penggabungan dari cara-cara perayaan itu. Sebagian lagi masih tetap
dengan cara masing-masing.
Dalam perjalanan waktu mulailah terlihat bahwa perayaan ini diiringi dengan
acara menikmati makanan kecil untuk menghangatkan suasana dan sekali gus dengan
itu membutuhkan adanya acara-acara hiburan. Lama kelamaan, acara-acara hiburan
ini pun terlihat menjadi sangat penting dan membutuhkan variasi dari tahun ke
tahun. Lalu berkembanglah penampilan acara-acara hiburan dan dari segi waktu,
acara ini mendominasi seluruh waktu perayaan. Seturut dengan perkembangan ini
pun, maka berkembanglah dekorasi dari berbagai jenis, kebutuhan akan makanan
kecil, bahkan terkadang hingga makan siang atau makan malam. Acara sedemikian
menuntut tata krama tersendiri sebagaimana layaknya sebuah pesta dalam resepsi
perkawinan misalnya, sehingga personil yang terlibat di dalamnya semakin
beranekaragam, termasuk penerima tamu, petugas dalam melayani makan dan
sebagainya. Demikianlah
pakaian-pakaian dan cara berhias lainnya menjadi sangat menentukan. Seluruh
perkembangan ini akan berakibat langsung pada biaya penyelenggaraan Natal. Dia
tampil menjadi suatu pesta mewah.
Selain daripada
itu, penekanan masyarakat akan aspek hiburan dalam perayaan Natal juga
menyelusup masuk ke dalam kebaktian. Lama kelamaan kebaktian dirakit agar mampu
memberi variasi dan lebih memunculkan suasana ceria. Demikianlah
tari-tarian, drama, penyanyi-penyanyi tunggal atau Paduan Suara menjadi sangat
penting. Walau pun khotbah memang tetap diberi tempat tersendiri, tetapi acara lainnya menjadi bagian dari hasil
fantasi orang-orang yang merakit acara itu dengan selera hiburan tersebut.
Sebagian memang dari sudut seni sangat memukau, tetapi jelas terlihat, bahwa
kebutuhan yang mendasarinya adalah keinginan untuk hal-hal yang berbau hiburan dan
spektakuler.
Penampilan seperti ini akan tampil dalam bentuk lain di desa-desa.
Kekurangan hiburan mengakibatkan Natal menjadi suatu perayaan yang dinantikan
dan akan benar-benar dipersiapkan agar sungguh-sungguh memenuhi selera. Walau
pun suasana berbeda dibanding dengan di kota, tetapi coraknya sama, dan
akibatnya tetap membutuhkan dana besar. Namun segala usaha akan dijalankan
untuk mengumpulkan sumbangan-sumbangan, entah mencetak kalender sebagai alasan
meminta sumbangan atau mengedarkan undangan yang mempunyai kupon sumbangan.
Bahkan di beberapa desa yang terletak di tepi jalan raya, anak-anak muda
ditugaskan untuk mencegat mobil-mobil yang lewat untuk memohon sumbangan.
Perkembangan kebutuhan ini memang diperhatikan oleh industri, oleh karena
itu sejak tahun 1970-an, bahkan sejak terbukanya Indonesia untuk lebih bebas
dalam peredaran modal, maka seluruh kebutuhan Natal pun menjadi bagian dari
industri. Sebagaimana layaknya dalam masyarakat industri pada umumnya, yaitu
bahwa industri harus mampu untuk mencipta kebutuhan, bukan mengikuti kebutuhan
masyarakat, maka keseluruhan corak perayaan Natal akhirnya menjadi bagian dari
konsumerisme dalam segala bagian-bagiannya, baik kebaktiannya, dekorasinya,
pakaian, dan gedung-gedung yang digunakan.
Seluruh
perkembangan di atas tergolong sebagai: tanda-tanda “kelupaan” akan suatu Natal
yang jadinya terlupa.
Nama : Pdt. Bonar Lumbantobing
Isteri :
E.Ch. br. Pardede
Anak :
3 orang.
Study :
S-1 tahun 1976 di STT Jakarta.
:
S-2 tahun 1983 di STT Jakarta
:
S-3 Univ. Heidelberg Jerman (belum
selesai)
Sekarang :
Dosen STT HKBP untuk Perjanjian Lama 1986 – 2000;
untuk Etika dan Perjanjian Lama
200 – sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar