MINGGU ADVENT I, 30
NOVEMBER 2014
Menyambut
Kedatangan Tuhan, Bapa Kita (Yesaya 64:1-9)
MINGGU ADVENT I, 30
NOVEMBER 2014
Menyambut
Kedatangan Tuhan, Bapa Kita (Yesaya 64:1-9)
ore
itu, suara petir bergelora di tengah derasnya hujan mengguyur kota Pondok Gede. Kendati tidak terlalu
lama, namun suaranya yang menggelegar menghentak ketenangan jiwa. Tampaknya, tak
ada soundsystem di dunia yang mampu mengimbangi atau mengalahkan gelegar
suaranya. Sepertinya, alam hendak menunjukkan kembali sebagian dari
keperkasaannya. Sepertinya, dia hendak mengingatkan betapa ringkihnya dan
rapuhnya umat manusia dibandingkan alam semesta ciptaan-Nya. Hati kembali
tertegun. Itu baru suara kedatangan petir, bagaimana pula suara kedatangan
Tuhan Allah?
Sekeluarnya Israel dari pembuangan Babel, Yesaya
menggambarkan kedatangan Allah mengakibatkan gunung-gunung bergoyang, ranggas
menyala-nyala, air mendidih, dan bangsa-bangsa gemetar. Suatu kedahsyatan yang
belum pernah terjadi di dunia (ay. 1-3). Yesaya mengatakan bahwa Tuhan datang
untuk menyambut orang yang menanti-nantikan Dia, yaitu orang yang hidup dalam
kebenaran dan berjalan dalam jalan-Nya. Namun bukan hanya itu. Tuhan Allah juga
datang untuk menghakimi orang berdosa yang memberontak kepada-Nya. Yesaya
mengakui dan menyesali kejahatan umat-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Dia
menyebut Allah itu adalah Bapanya Israel dan Israel adalah tanah liat. “Engkaulah
Bapa kami! Kamilah tanah liat…” (ay.9).
Permohonan Yesaya dan umat Israel semestinya
menjadi permohonan gereja (baca: orang percaya) sepanjang masa dalam merayakan
Advent. Gereja berseru: “Engkaulah
Bapa kami! Kamilah tanah liat!” Di sini jelas, gereja (orang percaya)
statusnya adalah tanah liat bukan tuan
tanah bukan pula pencari tanah tak bertuan. Orang percaya
semestinya terus-menerus menyadari bahwa dirinya adalah tanah liat yang harus
seturut dengan bentukan Bapanya. Untuk dapat seturut dengan kehendak Bapa, maka
gereja dan orang percaya senantiasa rendah hati sebab “tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi
kerendahan hati mendahului kehormatan” (Ams 18:12). Kerendahan hati
dimungkinkan terjadi ketika orang percaya menjalin relasi dengan Bapa. Jangan sampai kita menjadi orang-orang
yang punya status jelas tanpa hubungan yang jelas. Seperti keluhan seorang
pemudi “status tanpa hubungan”. Ada pula yang mengeluh dengan keadaan “hubungan
tanpa status.” Bahaya loh, kalau statusnya jelas tapi hubungannya
tak jelas, atau sebaliknya, hubungan ada tapi statusnya entah
bagaimana. Ibarat punya HP tapi tak ada pulsa atau signal atau
sebaliknya ada signal tetapi tak ada HP-nya.
Kita
mengimani dan mengamini apabila Allah menghadapkan wajah-Nya maka berkat-Nya
akan nyata (Bil. 6:24-26). Sebaliknya, jikalau Allah menyembunyikan atau
memalingkan wajah-Nya terhadap suatu umat, maka yang terjadi adalah kutuk dan
hukuman. Tidak ada gunanya manusia membela diri atau membenarkan diri di
hadapan Allah. Bukankah manusia adalah tanah liat? Karena itu, datanglah dan
mohonlah keampunan dosa dalam hati yang remuk di hadapan-Nya, sebab “korban
sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak
akan Kaupandang hina, ya Allah”
(Mzm 51:19).
Selamat Advent. Selamat beribadah.
Amin.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar