Peliharalah Kehidupan Yang Suci
(Efesus 5 : 22- 33)
Kehidupan yang benar bermula dari bagaimana kita dapat
memahami nilai kehidupan itu sendiri, baik dalam hal pekerjaan, kehidupan
bermasyarakat, kehidupan secara individu, kehidupan keagamaan serta kehidupan
dalam keluarga seperti perkawinan. Dengan pemahaman itu, kita akan mampu
membentuk karakter moral kita apa dan bagaimana semestinya. Kita akan dituntun
untuk menghargai kehidupan kita secara pribadi dan akan menghantar kita untuk
kehidupan selanjutnya. Menghargai nilai dari sebuah kebaikan, tentu kita akan
berusaha untuk memahami apa nilai kebenaran, keadilan, kasih serta tanggung
jawab baik secara moral maupun spritual. Artinya bagaimana kita awali dari diri
kita sendiri, bagaimana kita mampu menempatkan diri kita di posisi yang
sebenarnya, dengan demikian kita akan memahami apa dan bagaimana tugas kita.
Dalam dunia perkawinan, sudah terlalu sering kita
dengarkan kasus perceraian dengan banyak alasan, seperti misalnya: “kurang
kecocokan, karena tidak memiliki keturunan, masalah ekonomi, masalah pekerjaan.
Dengan alasan seperti
ini cenderung terjadi pembenaran diri, padahal kalau kita coba merenungkan
janji kita sebelum menikah ada 3: saling mencintai, tidak akan dipisahkan oleh
apapun kecuali maut/kematian, sehati sepikir. Artinya; jikalau kita merenungkan
kembali semuanya itu tidak ada alasan untuk bercerai. Di sisi lain, adanya
pandangan tentang perbedaan status, ada banyak orang mengatakan, bahwa status
laki-laki adalah lebih tinggi, sehingga melihat isterinya hanya sebuah
pelengkap, bukan sebagai bagian dari kehidupannya. Terlebih dengan kalimat:
”Hai perempuan,
tunduklah pada suamimu.” Kalimat ini membawa kepada berbagai pemahaman yang salah,
sepertinya bahwa perempuan itu ada sepenuhnya dalam kekuasaan suaminya.
Sehingga terkadang perkawinan menjadi sebuah belenggu/penjara kebebasan, hak,
kehidupan dari seorang perempuan. Hal ini juga terjadi pada jamannya Kekaisaran
Romawi, di mana ditemukan kemerosotan moral yang luar biasa, terutama sekitar tahun
234 BC jamannya Spurius
Carvilius Ruga; perkawinan sangatlah memprihatinkan, sebab menikah untuk
diceraikan, dan dapat berulang-ulang. Saat itu boleh jadi seorang perempuan menjadi istri yang
ke-23 dari seorang laki-laki, dan laki-laki menjadi suami ke-20 dari seorang perempuan.
Menjadi titik dasar nats ini adalah
KASIH. Pengorbanan, kesetiaan dan ketaatan, saling menghargai satu dengan yang
lain; Paulus mau katakan kepada para suami agar kiranya mengasihi isterinya,
seperti Kristus mengasihi jemaatNya, rela
berkorban, ada kesetiaan, sehingga dengan demikian akan melahirkan kesetiaan
juga dari isterinya, dan juga bagaimana seorang isteri harus menjaga harkat
suaminya. Tentu masing-masing harus mampu
mengalahkan diri, membentuk orientasi pemahaman yang baru dalam kebersamaan
visi dan misi keluarga. Artinya dalam perkawinan, masing-masing
harus memiliki komitmen, kewajiban, tugas, kepatuhan dan pelayanan, kesetiaan,
kejujuran, saling merendahkan diri dalam takut akan Tuhan. Masing-masing
harus melihat keberadaan mereka bukanlah dua pribadi yang berbeda, akan tetapi
adalah sebuah kesatuan. Dengan demikian mereka akan hidup kudus di hadapan
Allah. Selamat hari Minggu. (HS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar