Jangan Tolak Dia (Ibrani 12:18-29)
K
|
ita telah tiba di minggu Letare: Bersukacitalah
bersama-sama Yerusalem (Yesaya 66:10a). Baik Israel maupun orang percaya di
seluruh dunia, diundang bersuka cita. Bersuka cita bukan karena kondisi yang
mapan dan nyaman tetapi karena Tuhan sayang kepada umat-Nya. Tuhan yang agung
dan kudus itu mau mendekatkan diri kepada mahkluk yang lemah dan hina, seperti
saya dan Anda. Dia berkenan dijumpai bukan hanya di gunung Sinai dan Sion,
tetapi juga di dalam doa dan hidup yang berserah.
Lalu apa respon umat terhadap Allah
yang sangat bersahabat itu? Khotbah minggu ini berseru, pertama, jangan tolak Dia. Jangan sakiti Dia. Menurut penulis surat
Ibrani, penolakan terjadi karena iman orang Kristen, pada saat itu, belum teguh
dan tangguh. Padahal dari sudut waktu, sepantasnya mereka telah menjadi guru
(5:12-13). Penolakan dalam bentuk ancaman dan penganiayaan membuat mereka rapuh
dan runtuh. Namun ada juga penolakan yang berlangsung penuh kelembutan (berisi
godaan). Bukankah ribuan tahun yang lalu si jahat juga menggoda Yesus, Anak
Allah, dengan berkata, “Semuanya itu akan
kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembahku” (Mat.4:9). Namun Yesus
menjawab, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada
tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah
engkau berbakti” (Mat.4:10). Dunia memang cerdik bahkan licik dalam
menawarkan segala kenikmatan. Dunia bisa saja memberi apa yang manusia inginkan
tetapi tak dapat memberikan keselamatan. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia
tetapi kehilangan nyawanya? (Mat. 16:26).
Kedua,
tekun bersyukur dan beribadah. Masa lalu
yang menyakitkan, masa kini yang banyak penderitaan, penyaniayaan, dan masa
depan yang tanpa harapan bisa saja memicu dan memacu penolakan. Akan tetapi
orang beriman dipanggil untuk tetap bersyukur dan tekun beribadah. Mengapa?
Karena “kita menerima kerajaan yang tak
tergoncangkan” (ay.28). Kerajaan di dunia ini sementara. Kemarin atau hari
ini dibangun, esok atau lusa bisa saja goncang bahkan hancur dan terkubur.
Namun kehidupan yang kekal disediakan Allah, di dalam kerajaan-Nya yang abadi,
bagi orang yang setia sampai mati
(bukan yang setia setengah mati).
Jika demikian, sepantasnyalah orang
beriman senantiasa mengucap syukur dan tekun beribadah kepada Tuhan. Bersyukur
dan beribadah dengan cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut bahkan juga kagum/takjub (‘awe’ dalam
Alkitab Today’s English Version, ay.28). Sebaliknya, Tuhan tidak suka terhadap
ungkapan syukur dan ibadah yang asal dan
sekedar. Akh, mestinya jantung kita
berdetak kencang membaca perikop ini. Mengapa? Bukankah ungkapan syukur dan
ibadah orang Kristen, sadar atau tidak sadar, berlangsung dengan asal dan sekedar ? Perasaan hormat
dan takut serta kagum kepada Allah, hilang dihembuskan roh yang bernama asal
dan sekedar? Atau, kalaupun masih ada rasa hormat, takut, dan kagum justru
tertuju kepada diri sendiri dan kelompok. Namun, kita bersyukur karena Yosua pernah
mengingatkan “tetapi aku dan seisi
rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN” (Yos. 24:15c). Selamat hari
minggu. Selamat beribadah dalam hormat, takut, dan kagum serta takjub hanya
kepada-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar