“Dilarang narsis”, begitu tertulis pada
sebuah dinding. Apakah narsisme sudah masuk dalam tindakan membahayakan sehingga
harus dilarang? Entahlah, tetapi belakangan ini kita sering mendengar dan
menyaksikan cerita ataupun aksi narsis sebagian orang, dengan atau tanpa tongsis
(tongkat narsis). Salah satu terjemahan Kamus Bahasa Indonesia terhadap kata narsisme adalah “hal (keadaan) mencintai
diri sendiri secara berlebihan. “Lalu, apakah mungkin aksi narsis masuk ke
dalam kehidupan gereja?
Di jaman pelayanannya, rasul Paulus pernah
mendapat perlawanan dari rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang
menyamar sebagai rasul-rasul Kristus (11:13). Cinta diri secara berlebihan
tampak dalam rupa menyombongkan dan mengedepankan pengetahuan, hikmat,
kekuatan, status social dan kecakapan retorika, memuji kehebatan-kehebatan
mereka sendiri. Celakanya, tidak sedikit jemaat Korintus yang terpengarus cara
dan gaya rasul-rasul palsu tersebut karena mereka piawai dalam mengolah kata
dan bahasa. Mereka juga meragukan dan merendahkan kerasulan Paulus karena dia
dianggap pernah tidak menepati janji (band. 1:15), tidak memiliki surat
rekomendasi kerasulan (band. 3:1-3) tidak memiliki persekutuan dengan Kristus
(10:7), dituduh mengambil uang sumbangan (band. 11:8-9), tidak ada pengalaman
rohani (band. 12:1-10).
Menggumuli konteks pada jaman Paulus,
ternyata sikap ataupun gaya narsisme rohani, dalam bentuk yang berbeda, telah
ada pada waktu itu. Memuji diri sekaligus melukai perasaan orang lain. Bisa
saja pengalaman seperti itu merasuk hingga merusak persekutuan di gereja masa
kini. Memuji kehebatan dan keberhasilan pelayan gerejanya sekaligus merendahkan
martabat gereja dan pelayan gereja di tempat lain. Narsisme rohani sering di
bangun di atas dasar aktualisasi diri dan perendahan terhadap hak azasi. Anehnya,
banyak warga jemaat yang tidak menyadari keadaan tersebut serta mengikutinya.
Khotbah hari ini mengingatkan sedikitnya
dua hal. Pertama, hindarilah narsisme
rohani. Bekerjalah dengan rendah hati.
Apapun profesinya, orang percaya terpanggil menjalankan profesi itu dengan
setulus hati bukan untuk dipuji. Hal senada juga disampaikan Jansen H. Sinamo
dalam salah satu bukunya yang berjudul 8
Etos Kerja Profesional. Ia mengatakan bahwa Kerja adalah Pelayanan: Aku bekerja Paripurna Penuh Kerendahan Hati.
Tidak ada yang perlu disombongkan karena semua adalah pemberian Tuhan untuk
kemuliaan Tuhan. Bukankah Tuhan dapat mengambil apa yang Dia beri jika manusia
tidak menjalankannya dengan sepenuh dan setulus hati?
Kedua,
Pertahankan jati diri. Sekalipun melayani dengan setulus hati, bukan berarti
tidak ada pihak yang iri dan dengki. Dewasa ini, meski apresiasi diberikan
kepada banyak orang percaya yang berkarya setulus hati, namun tidak sedikit
yang masih tersakiti. Serangan dan tuduhan yang merontokkan semangat dan
harapan acapkali dilakoni dunia ini. Bukankah iblis juga pernah mencobai Yesus
di padang gurun dengan menyerang status ke-Anak-an-Nya: “Jika Engkau Anak Allah…”
(Mat. 4:3) dan Dia menang. Jadi, jangan gentar, jangan korbankan jati diri. Jangan
caci, jangan benci orang yang membuat hatimu sedih. Bertahanlah, sebab Tuhan
menopangmu. Amin.
Selamat
Hari Minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar