MINGGU
XV DUNG TRINITATIS 28 SEPTEMBER 2014
Matius
21: 23-32
Bruno Hagspiel mengisahkan seorang
berpendidikan tinggi yang pada suatu ketika dengan serius mengumumkan kepada
teman-temannya bahwa ia tidak akan
pernah percaya kepada apa pun yang tidak ia mengerti. Seorang petani tua
mendengar pernyataan itu dan berpaling kepada intelektual muda itu dan berkata,
“Ketika saya pergi ke kota hari ini, saya melewati padang rumput di mana
beberapa ekor domba sedang makan. Apakah engkau percaya?” “Ya,” kata
intelektual muda itu. “Baik, sekarang, engkau dengar,” kata petani itu. “Rumput
yang dimakan domba berubah menjadi bulu domba. Apakah engkau percaya akan hal
itu?” “Ya,” jawab intelektual muda itu. Apakah engkau mengertinya?” “Tidak,”
jawab intelektual muda itu. “Anak muda,” kata petani, “jika umurmu cukup tua,
engkau akan menemukan bahwa ada banyak sekali hal yang engkau percaya tanpa
mengerti. Allah adalah salah satu di antaranya.” Tidak jarang kita melihat atau
mendengar bahwa seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan seseorang, justru
semakin meningkatkan keraguannya terhadap otoritas/kuasa Allah. Hal senada juga
disampaikan St Bernard of Clairvaux, “Kehilangan uang, kesehatan, kepercayaan
atau orang-orang yang kita cintai adalah kehilangan besar, tetapi tragedi
paling besar adalah kehilangan kepercayaan.”
Dahulu, para pemuka agama Yahudi,
seperti yang disampaikan Matius 21:23-32, tidak percaya kepada Tuhan Yesus dan
kuasa yang dimiliki-Nya. Mereka juga cemburu melihat Yesus, karya-Nya
dan pengikutNya yang bertambah banyak. Bagi pemuka agama, keberadaan Yesus
mengusik dan mengancam eksistensi mereka sehingga, menurut mereka, Yesus harus
disingkirkan secepat mungkin. Segala cara dilakukan, termasuk mempertanyakan
asal-usul kuasa-Nya, sebagai pintu masuk untuk menjebak, menyudutkan dan
menjatuhkan Yesus. Tuhan Yesus mencela sikap para imam yang tidak memercayai-Nya
dan pemberitaan Yohanes pembaptis. Yesus mengibaratkan mereka seperti seorang
anak yang menjawab “ya” atas perintah ayahnya, namun justru tidak melakukannya
(bnd. Mat. 5:37). Tidak ada konsistensi antara perkataan dan perbuatan.
Sebaliknya para pemungut cukai dan perempuan sundal diibaratkan seperti seorang
anak yang menyesali perbuatannya dan bertobat.
Sadar atau tidak sadar, berbagai jebakan dipakai si jahat untuk
merontokkan semangat, mental dan menggerogoti keyakinan orang percaya terhadap
Yesus. Si jahat terus berupaya agar orang percaya semakin meragukan Yesus,
sehingga sekalipun seseorang rajin marminggu,
namun rajin pula mardatu. Rajin marende rajin pula mandate dan mandele.
Rajin membaca Alkitab marsundutsundut
tetapi rajin pula marungutungut. Si
jahat terus berupaya agar orang percaya semakin tidak peduli kepada Yesus
sehingga sekalipun seseorang rajin marminggu, namun rajin pula ia marmitu dan markartu. Rajin beribadah,
tetapi rajin pula manarita dan marbada.
Senada dengan itu, tidak sedikit
kawula muda yang semakin galau dan
meragukan jawaban Tuhan terhadap doa-doanya. Mulai dari persoalan pekerjaan
yang kurang mapan hingga urusan soul mate
yang tak memberi rasa nyaman. Sebagian lagi mencoba mencari tuhan
alternatif/instan yang dirasa super cepat
dan hebat. Tidak sedikit pula keluarga Kristen yang digoyah berbagai badai
kehidupan sehingga rentan terhadap keretakan. Masih banyak jebakan-jebakan
lainnya yang bisa saja membuat orang percaya tersudutkan dan dipermalukan.
Namun apapun jenis jebakan kehidupan itu, orang percaya terus diajak untuk
meyakini kuasa Kristus dengan senantiasa berkarya dengan mengandalkan Tuhan,
bersabar dalam pencobaan dan bersyukur dalam segala hal.
Selamat beribadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar